Jumat, 13 Juli 2012

KOMPETENSI DASAR KONSELOR DAN PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
KOMPETENSI DASAR KONSELOR DAN PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR

Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd.
Dosen Program Stydi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus


A.Pendahuluan
Bimbingan dan konseling saat ini tidak lagi terbatas hanya pada lingkungan pendidikan sekolah, melainkan juga dalam setting luar sekolah dan kemasyarakatan. Kehidupan global dan kemajuan teknologi informasi yang memperhadapkan manusia kepada perubahan pesat dan ragam informasi yang amat banyak, menghendaki manusia untuk selalu memperbaiki kemampuan dan kecakapannya di dalam memilih dan mengolah informasi agar dapat mengambil keputusan secara tepat. Perbaikan kemampuan dan kecakapan semacam ini perlu dilakukan secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan melalui proses belajar. Proses belajar menjadi proses sepanjang hayat menyangkut seluruh aspek kehidupan atau sejagat hayat. Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat akan menjadi determinan eksistensi dan ketahanan hidup manusia.
Belajar sepanjang hayat dan sejagat hayat adalah proses dan aktivitas yang terjadi melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, karena dia selalu dihadapkan kepada lingkungan yang selalu berubah yang menuntut manusia harus selalu menyesuaikan, memperbaiki, mengubah dan meningkatkan mutu perilaku untuk dapat memfungsikan diri secara efektif di dalam lingkungan.
Menyikapi dinamika masyarakat tersebut, profesi bimbingan dan konseling perlu selalu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat. Tantangan dan pengkritisan terhadap kinerja konselor sekolah tidak bisa kita anggap sebagai angin lalu. Di satu sisi kita sering mendengar keluhan para konselor sekolah dalam kegiatan temu ilmiah (konvensi, seminar, lokakarya), penataran dan pelatihan, bahwa mereka tidak memperoleh fasilitas di sekolah, sering diberi tugas yang tidak proporsional, diirikan guru mata pelajaran karena memperoleh KJM (Kelebihan Jam Mengajar). Di sisi lain Kepala Sekolah menganggap kinerja konselor sekolah tidak sebanding dengan kinerja guru mata pelajaran, sering menghindar jika diberi ”tugas khusus”, hasil kerjanya tidak nampak, tidak mempunyai administrasi BK. Sementara itu guru mata pelajaran juga menganggap bahwa kinerja konselor tidak sepadan dengan hak yang telah mereka terima setiap bulan.
Pengalaman penulis yang cukup menarik dalam hubungannya dengan kinerja konselor sekolah, dipaparkan sebagai berikut:
1.Tahun 1999/2000 penulis mengadakan penelitian tentang profil kinerja konselor SMP/MTs di Kabupaten XYZ. Kuesioner yang terdiri dari 198 item dimaksudkan untuk mengungkap kinerja konselor mulai dari perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi, analisis dan tindak lanjut. Item-item tersebut menyanyakan apakah mereka melakukan kegiatan perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi, analisis dan tindak lanjut. Jika jawaban Tidak, maka mereka diminta menyebutkan hambatannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi konselor sekolah, dan selanjutnya disusun program pelatihan sesuai kebutuhan konselor sekolah. Dari sekitar 75 konselor seolah, yang mengembalikan kuesioner hanya 12 orang. Informasi lisan yang penulis terima dari konselor sekolah yang mengembalikan kuesioner bahwa teman-teman yang tidak mengembalikan kuesioner karena pertanyaan item 197 dan 198, yaitu:
197. Apakah Bapak/Ibu bersedia jika diobservasi administrasi BK yang Bapak/Ibu kerjakan?
a. Ya
b. Tidak
198. Jika tidak, mengapa?
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
Simpulan sementara oleh penulis adalah bahwa mereka yang tidak mengembalikan kuesioner karena tidak mempunyai administrasi BK, atau mereka tidak bekerja sebagaimana sinyalemen Kepala Sekolah dan guru mata pelajaran; dengan kata lain mereka termasuk inkompetensi.
2.Tahun 2000/2001 kegiatan penelitian diulangi dengan merubah kuesioner dalam bentuk tabel, namun hakekatnya untuk mengungkap informasi yang sama. Ternyata dari 75 responden yang mengembalikan kuesioner hanya 9; 5 diantaranya adalah yang sudah mengisi pada tahun 1999/2000. Peneliti memutuskan tidak mengolah data dari kuesioner yang dilakukan selama dua periode tersebut karena responden tidak mewakili penelitian populasi.
3.Tahun 2001/2002 penelitian dialihkan ke SMA dengan materi kuesioner 198 item seperti tersebut pada poin 1. Dari kurang lebih 50 konselor sekolah SMA/MA yang mengembalikan kuesioner hanya 16 orang. Penulis tidak berminat untuk menganalisis data yang tidak mewakili penelitian populasi tersebut.
4.Pada saat kegiatan Seminar dan Lokakarya yang diselenggarakan oleh ABKIN Kabupaten Kudus pada tanggal 4 Juni 2007, penulis iseng-iseng membuat kuesioner yang lebih sederhana (terlampir). Dari kurang lebih peserta yang berasal dari mahasiswa BK, Kepala dan guru SD/MI, Kepala SMP/MTs, SMA/MA/SMK, konselor SMP/MTs, konselor SMA/MA/SMK, Pengawas SD/MI, Pengawas SMP/MTs, Pengawas SMA/MA/SMK, dan undangan yang jumlahnya sekitar 200 orang, kuesioner yang kembali hanya 75. dengan perincian:
a.Mahasiswa BK : 13
b.Kepala dan Guru SD/MI : 5
c.Kepala SMP/MTs : 7
d.Kepala SMA/MA/SMK : 5
e.Konselor SMP/MTs : 19
f.Konselor SMA/MA/SMK : 16
g.Pengawas SD/MI : 5
h.Pengawas SMP/MTs : 3
i.Pengawas SMA/MA/SMK : 2
j.Umum
5.Dalam workshop konselor SMP/MTs yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, penulis menyebarkan kuesioner yang itemnya sama dengan yang disebarkan pada Seminar dan Lokakarya ABKIN Kabupaten Kudus. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
a.dari 140 konselor sekolah yang mengikuti workshop tanggal 6-9 Juni 2007, yang mengembalikan kuesioner 53 orang
b.dari 140 konselor sekolah (Pengurus MGP dari 35 kabupaten/kota) yang mengikuti workshop tanggal 15-18 Juni 2007, yang mengembalikan kuesioner 51 orang

Inilah realita tentang potret sebagian konselor kita. Realita ini bisa saja ditolak, kontroversial, dan kita anggap mengada-ada. Tetapi masalahnya bukan sekedar kita menolak, menganggap tidak benar sinyalemen tersebut. Namun, bagaimana kita merubah miskonsepsi tentang konselor tersebut dengan karya nyata sehingga eksistensi konselor sekolah tidak selalu dituding dan digugat pihak lain.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, suatu keniscayaan bagi setiap konselor sekolah untuk selalu mengacu pada Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) dalam memberikan berbagai layanan bimbingan dan konseling. Karena pada dasarnya, pelayanan bimbingan dan konseling adalah pengembangan kompetensi siswa dan konselor itu sendiri. Pengembangan kompetensi konselor niscaya menjadi indikator kinerja konselor sekolah yang bisa diakses oleh pihak-pihak lain di sekolah. Sehingga pelan tetapi pasti pihak lain dan pengguna mengakui kontribusi dan eksistensi konselor sekolah.

1 komentar:

wawan mengatakan...

baguusss.....keren

About Me

Diberdayakan oleh Blogger.
Share

Share

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail